Assalamu'alaikum wr wb, Kali ini saya akan berbagi pengalaman pribadi yang saat tulisan ini diposting saya masih menjadi peserta PembaTIK 2024 level 3 (kreasi). Saya mendaftar pelatihan ini sesaat setelah pengumuman resmi dari laman PembaTIK dirilis melalui platform media seosial Instagram. Saya merasa tertantang untuk mengikuti pelatihan ini sebab rasa penasaran mengenai platform pembelajaran yang digunakan. Awalnya saya mengira akan menggunakan Moodle sebagai Learning Management System yang digunakan oleh peserta, namun ternyata menggunakan Google Sites sebagai pusat informasi, dan Google Chat sebagai media komunikasi. Saya berharap semoga bisa menyelesaikan pelatihan ini sampai ke level terakhir yakni level 4.
Refleksi diri
Selama mengikuti pelatihan dari level 1 sampai level 3 ini, saya mengikuti diskusi di grup chat dengan seksama. Dari chat inilah saya menemukan semangat para peserta yang menggelora dan antusiasme yang tak terbendung dalam mengikuti setiap tugas mandiri dan kegiatan sinkronus kelas. Hal ini tentu berdampak pada diri saya yang pada akhirnya terjilat kobaran api semangat mereka; yang sejujurnya pada awalnya saya agak malas mengikuti pelatihan ini. Seolah menemukan kekuatan baru, saya aktif membaca dan mempelajari modul-modul yang diberikan.
Saya menemukan letak kekuatan saya setelah mempelajari modul-modul tersebut, yakni pemanfaatan teknologi; sebuah kekuatan yang sebetulnya bukanlah sesuatu yang menonjol di era teknologi informasi saat ini. Di sisi lain, saya juga menemukan kelemahan saya sebagai seorang pendidik yakni kurangnya implementasi pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran. Bagi saya pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran akan memperkaya pengalaman belajar peserta didik.
Namun, apakah masih diperlukan pembelajaran berbasis digital di kelas saya?
Finlandia; salah satu negara di Eropa yang menjadi rujukan pembelajaran di Indonesia sudah mulai meninggalkan teknologi digital dalam pembelajaran siswanya dan kembali ke sistem lama dengan buku cetak dan alat tulis. Hal ini disebabkan oleh kesadaran mengenai dampak negatif dari penggunaan perangkat digital tersebut, yang tidak dapat mereka kendalikan.
Kesadaran mereka tentu tidak serta merta muncul begitu saja, namun diawali dari studi dan penelitian akan dampak buruk teknologi digital bagi peserta didik mereka salah satunya yakni screen time. Selain masalah screen time, para guru di Finlandia menemukan dampak buruk lain saat mengamati kebanyakan anak berusaha mengerjakan latihan lebih cepat, untuk dapat beralih bermain game atau mengobrol dengan orang lain melalui media sosial. Mereka dengan cepat mengalihkan tab di browser jika didatangi guru, dan berpura-pura sedang mengerjakan latihan. Hal ini tentu bukanlah hal yang baik dan merupakan tantangan berat dalam pendidikan karakter peserta didik. (sumber)
Terlepas dari itu semua, saat ini saya masih memandang perlu dalam penggunaan perangkat digital dalam pembelajaran. Upaya kolaboratif dengan orang tua siswa dalam kontrol penggunaan perangkat digital adalah sesuatu yang niscaya. Namun demikian, diperlukan evaluasi dan riset secara berkala mengenai dampak positif dan negatif penggunaan perangkat digital tersebut. Saya kira, setiap individu dan setiap wilayah punya situasi, kondisi, dan masalah yang berbeda-beda.
Sebuah kritik
Ada perbincangan menarik dalam grup chat peserta PembaTIK yakni saat berdiskusi mengenai penggunaan aplikasi articulate storyline 3.